Manajemen PT Pertamina (Persero) kembali mengenang sosok Direktur Utama pertama Pertamina Ibnu Sutowo yang menjadi cikal bakal besarnya perseroan hingga saat ini.
"Ibnu Sutowo merupakan salah satu perintis keberadaan Pertamina, seseorang yang mempunyai pemikiran yang jauh ke depan," kata Vice President Coorporate Comunication PT Pertamina, Ali Mundakir, dalam acara bedah Buku Ibnu Sutowo "Saatnya Saya Bercerita" di Ruang Perpustakaan Pertamina, Jakarta, Jumat (28/12/2012).
Salah satu langkah besar Ibnu Sutowo kata Ali, antaralain Ibnu Sutowo membeli aset Shell yang saat itu mengalami keraguan dengan situasi politik di Indonesia.
"Dengan langkah itu, Pertamina mempunyai aset tidak hanya di Plaju tetapi dengan pembelian aset Shell, Pertamina mempunyai aset di Sumetera, Jawa, Kalimantan, dimana saat ini menjadi wilayah kerja Pertamina yang dikelola Pertamina EP," kata Ali.
Cara-cara Ibnu Sutowo pun kini diikuti sampai saat ini, Pertamina membeli aset Inpex, Anadarko, Conoco Philips di al-Zajera, sahaam harvezt di Venezuela dan lainnya.
"Itu langkah Ibnu Sutowo juga diikuti sampai saat ini seperti Pertamina membeli aset Inpex, Anadarko, Conoco Philips di al-Zajera, sahaam harvezt di Venezuela dan lainnya," ungkapnya.
Dalam acara bedah buku, dilakukan sebagai rangkaian acara HUT Pertamina yang ke-55 tahun.
"Buku ini buku lama, dicetak pertama pada 2008, kita bedah sebagai rangkaian HUT Pertamina, untuk mengingatkan khususnya kepada insan Pertamina bahwa Pertamina dulu besar karena mempunyai gebrakan besar yang banyak ditentang dulu, namun sekarang dampaknya luar biasa," tandas Ali.
Ini Cerita Pegawai Pertamina Soal Sosok Ibnu Sutowo
Stigma koruptor terhadap mantan Dirut PT Pertamina (Persero) Ibnu Sutowo masih melekat hingga saat ini.
Sosok Ibnu Sutowo dianggap kontroversial, ada yang menganggap dia sangat berjasa membangun Pertamina, tapi di sisi lain ada yang menganggap dia seorang yang bertanggung jawab terhadap carut marutnya manajemen Pertamina di masa kepemimpinannya.
"Itu kan baru tudingan, dan belum terbukti, kami melihatnya justru jasa Ibnu Sutowo sangat besar bagi pertamina," kata Marlo salah satu pegawai Pertamina kepada detikFinance, Jumat (28/12/2012).
Menurut Marlo, tudingan tersebut terjadi di zaman pemerintahan Orde Baru yang bisa dibilang siapa-pun tidak berani untuk berbicara ke publik. "Apalagi itu terjadi di zaman Presiden Soeharto yang cukup banyak orang yang tidak berani berbicara ke publik," ucapnya.
Namun secara keseluruhan bagi Marlo, Ibnu Sutowo sangat berjasa besar bagi Pertamina, perjuangannya mencari aset-aset Migas tidak hanya dengan membeli aset wilayah migas tersebut, tapi juga dengan merebut dengan perperangan.
"Perjuangannya membesarkan aset Pertamina tidak hanya dengan membeli aset perusahaan asing, tapi juga merebut aset tersebut degan perjuangan dengan perperangan," tukasnya.
Namun tidak semua pegawai Pertamina kini yang mengenal sosok Ibnu Sutowo, seperti diungkapkan Suryo salah satu pegawai Pertamina lainnya. Suryp mengaku hanya mengetahui Ibnu Sutowo adalah Dirut Pertamina yang pertama.
"Saya tahunya sih beliau Dirut Pertamin pertama kali, pemimpin Pertamina, cikal bakal Pertamina sebesar ini," tandas Suryo
Ibnu Sutowo bagi pegawai Pertamina lainnya dianggap sebagai sosok yang berani, Ibnu sosok yang tidak takut dengan Presiden Soeharto. Walaupun ada yang menganggap Ibnu merupakan 'anak emas' Presiden Soeharto saat itu.
"Bahkan ketika menghadiri suatu pertemuan dengan Presiden Soeharto dimana dihadiri banyak menteri, ketika Soeharto datang semua yang ada diruangan berdiri semua, namun hal itu tidak dilakukan seorang Ibnu Sutowo," ungkap Vica President Comunications Corporate Pertamina, Ali Mindakir, dalam acara Bedah Buku Ibnu Sutowo "Saatnya Saya Bercerita" di Kantor Pusat Pertamina, Jumat (28/12/2012).
Diungkapkannya dalam buku tersebut seorang Ibnu Sutowo juga nampak jengah ketika perusahaan minyak asing Shell pada saat itu melarang dirinya masuk ke lokasi wilayah kerja Shell. "Dia Jengah, sebagai anggota TNI dirinya dilarang masuk ke lokasi wilayah Shell, padahal itu dia TNI padahal daerah itu tanah airnya," kata Ali.
Dari situlah Ibnu Sutowo bertekad memperjuangkan bahwa sumber daya alam Indonesia adalah hak rakyat Indonesia. "Makna pasal 33 UUD 1945 benar-benar diterapkan Ibnu Sutowo, dia beli aset Shell walau harus dengan utang," ucapnya.
Bahkan berkat pemikirannya kata Ali, muncullah sistem kontrak bagi hasil (PSC) untuk pertama kali dan hingga sampai saat ini sistem tersebut banyak diadopsi oleh negara lain.
"Bahwa sumber daya alam adalah hak rakyat, jika ada pihak asing atau siapapun yang ingin mengelolanya, silakan, tapi bagian negara harus lebih besar, dan jika biaya investasi mereka keluarkan tidak menghasilkan apapun bagi negara maka tidak akan diganti uang mereka," ucap Ali.
Di Bawah Ibnu Sutowo, Pertamina Sempat Dianggap 'Negara dalam Negara'
Pada Ulang Tahun ke-55, PT Pertamina (Persero) kembali mengenang sosok Ibnu Sutowo sebagai Direktur Utama PT Pertamina yang pertama. Melalui buku Ibnu Sutowo " Saatnya Saya Bercerita!", diungkapkan adanya tudingan korupsi skala besar di Pertamina pada waktu Orde Baru.
Ibnu bercerita, pada 1974 Pertamina tertimpa kemelut, pergolakan politik sedang marak, para mahasiswa berdemo sebagai oposisi pemerintah.
Pada 15 Januari 1974 yang dikenal sebagai Peristiwa Malari, protes para mahasiswa terhadap kunjungan PM Jepang Tanaka berakhir dengan pembakaran terhadap perusahaan-perusahaan Jepang, mobil-mobil Jepang, juga terhadap Pasar Senen.
Menurut Ibnu dalam bukunya tersebut, mahasiswa tidak puas dengan dominasi Jepang atas kehidupan ekonomi di Indonesia. Menurutnya Pertamina menjadi "kambing hitam" dari kondisi tersebut.
Saat itu sasaran ketidakpuasan ditumpahkan ke alamat asisten-asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, Ali Moertopo dan Sudjono Humardani termasuk dirinya sebagai Dirut Pertamina.
Saat itu kata Ibnu, Pertamina dituduh melakukan korupsi berskalaa besar. Sejumlah koran seperti Indonesia Raya, Operasi, Sinar Haparan mempertanyakan Pertamina mau mendirikan "negara dalam negara". Hal ini karena organisasi Pertamina makin lama makin besar, tidak mau tunduk para peraturan pemerintah.
"Semua yang dikerjakan oleh Pertamina, termasuk proyek-proyek besar seperti Pabrik Pupuk, Krakatau Steel, Pulau Batam, tentu ini dibicarakan dengan Presiden, dan dilakasanakan atas persetujuan Presiden Soeharto," tulis Ibnu dalam bukunya yang dikutip detikFinance, Minggu (30/12/2012).
Tudingan muncul, ketika ia membuat perjanjiam baru mengenai pinjaman jangka panjang selama 20 tahun senilai US$ 1,7 miliar. Pinjaman itu dianggap Ibnu sudah pasti, untuk mengerjakan proyek-proyek seperti Krakatau Steel, Batam, karena untuk menggunakan dana dari pemerintah waktu itu tidak ada.
Namun ternyata tidak disangka ternyata utang jangka panjang yang perjanjianya sudah diteken olehnya tidak bisa dicairkan. "Maka kacaulah kami," kata Ibnu. Kenapa pinjaman tidak cair "Saya tidak tahu," lanjutnya.
Situasi inilah yang diisebut Ibnu sebagai "Krisis Pertamina" dan akhirnya membuat Ibnu Sutowo berhenti sebagai Dirut Pertamina pada tanggal 9 Maret 1976, ia digantikan oleh Piet Haryono. Menurutnya pelengseran dirinya tersebut dengan cara tidak elok dan mengecewakan sekali baginya.
Ibnu Sutowo: Untuk Menjatuhkan Saya Paling Gampang dengan Tuduhan Korupsi
PT Pertamina (Persero) mengenang sosok sang Direktur Utama pertama Pertamina Ibnu Sutowo dalam buku "Ibnu Sutowo, Saatnya Saya Bercerita!" Namun sosok 'legendaris' di bidang perminyakan ini tak terlepas dari stigma korupsi.
Dalam bukunya Ibnu bercerita, saat itu Pertamina dan ia sedang berada di puncak. Ia menuturkan menjatuhkan dirinya paling gampang adalah dengan tudingan melakukan korupsi, sehingga akhirnya ia lengser dari kursi Dirut Pertamina digantikan oleh Piet Haryono pada 1976.
Baginya pelengserannya tersebut cukup menyesakkan dada, bagi Ibnu cara pelengserannya tidak elok. "Pada waktu itu saya cuti sakit, dikabarkan Menteri Pertambangan Moh. Sadli, Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro dan Menteri Keuangan Ali Wardhana bicara di depan para anggota DPR mengenai krisis Pertamina," tulis Ibnu dalam Bukunya yang dikutip detikFinance, Minggu (30/12/2012).
Menurut Ibnu, Widjojo Cs waktu itu bicara juga tentang kapal tanker yang dimiliki Pertamina. "Mereka mengemukakan, akibat resesi ekonomi dunia dan penghematan minyak, operasi tanker itu menyebabkan Pertamina rugi besar. Sejak 1975, kata mereka, banyak tanker Pertamina menganggur karena kekurangan muatan," tulis Ibnu dibukunya.
"Toh dalam kesempatan itu mereka tidak bisa mengajukan angka seragam mengenai utang Pertamina yang sebenarnya," tulisnya lagi.
Pada 5 Maret 1976 Ibnu dilengserkan oleh Presiden Soeharto dan diigantikan oleh Piet Haryono, kejadian ini dianggap ganjil karena Ibnu diberitahu satu hari sebelumnya.
"Hari itu seorang utusan khusus Presiden datang memberitahukan kepada saya. Kabarnya, para anggota Dewan Komisaris diberitahu tentang timbang terima saya dengan Piet Haryono itu tanggal 3 Februari 1976, jadi sebulan sebelum saya diberitahu," tulisnya.
Para Komisaris tersebut kata Ibnu adalah Menteri Pertambangan, Menteri Keuangan, Menteri Ekuin, Menteri Perindustrian dan Menteri Pertahanan dan Keamanan. "Rupanya berbulan-bulan orang sempat membicarakan soal pergantian saya," ucapnya.
Pergantian itu tersebut mengecewakan baginya, bukan karena dirinya mau jadi Dirut Pertamina seumur hidup. "Tapi karena dilangsungkan dengan cara sederhana dan tertutup bagi pers, bahkan lebih dari pada sederhana. Padahal saat itu kata Ibnu, Pertamina dipimpinnya mulai dari nol hingga besar.
"Mulai produksi 350.000 barel per hari dengan harga rata-rata di bawah US$ 2 per barel, waktu saya berhenti, produksi Pertamina 1,7 juta barel/hari dengan harga US$ 34 per barel, incomee dari minyak mencapai US$ 2 miliar," ucapnya.
"Waktu saya sedang berada diposisi puncak. Dan yang paling gampang untuk menjatuhkan saya, dengan tuduhan korupsi," tulisnya.
sumber: detik.com